BERLATIH TANPA KENAL MENYERAH ADALAH CIRI PRIBADI YANG SUKSES DIMASA DEPAN

23 September, 2012

MEMBUDAYAKAN MENULIS


Banyak cara untuk menjadi pandai dan cerdas namun tidak lepas dari menulis dan membaca seperti disampaikan oleh Praktisi komunikasi, Aat Surya Syafaat dalam kesempatan wisuda Universitas Mathla'ul Anwar Banten, Sabtu (25/2).
Diakui atau tidak menulis di Indonesia belum menjadi budaya, karena masyarakat kita lebih kuat pada budaya lisannya. Banyak indikator bahwa kita belum terbiasa dengan budaya menulis. Satu hal yang  mengindikasikan rendahnya kebiasaan menulis adalah bahwa surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada 27 Januari terkait kewajiban menulis karya ilmiah dalam jurnal ilmiah masih  mendaptakan sambutan pro dan kontra. Beberapa kalangan masih merasa bahwa anjuran itu akan mempersulit. Padahal jika memaksakan sedikit kemauan kita untuk memulai, mencoba dan menyikapi positif pada anjuran itu tentu kita akan mendaptkan suaatu hal yang positif dimasa yang akan datang.
SEMUA ORANG BERBAKAT MENULIS
Kebiasaan menulis  dalam pengertian menulis tulisan ilmiah merupakan hal yang sangat sulit dilakukan bagi seorang yang  tidak memiliki motivasi menulis ataupun seorang pemula. Karena kebiasaan menulis ibarat menciptakan kebiasaan baru. Walaupun sebenarnya kita juga sudah memiliki bakat. Kita lancar menulis surat pada pacar yang tanpa disadari  hasilnya bahkan berlembar-lembar, atau chating dengan suami, istri atau teman. Kita hanya sedikit berlatih memaksakan untuk memulai dan  memulai kadang sangat sulit untuk dilakukan.

22 September, 2012

FENOMENA “Bang Maman dari Kali Pasir”

Fenomena kisah "Bang Maman dari Kali Pasir" dalam  Buku LKS Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta  terbitan CV. Media Kreasi layak untuk kita kritisi. Hal semacam ini tentu tidak akan terjadi bila kita mengantisipasi titik lemah dimana potensi kekeliruan tersebut mengemuka. Kita tidak bisa menyalahkan mengapa kemudian penulis buku tersebut mengangkat kisah seperti itu, karena apa yang memasuki alam bawah sadar penulis adalah mungkin itulah yang banyak terjadi  dalam kehidupan nyata akhir-akhir ini. Tetapi hal ini menjadi masalah manakala cerita seperti itu masuk dalam ruang publik siswa yang semestinya dijejali dengan hal-hal yang bersifat positif. Disatu sisi penulis mungkin bermaksud untuk memberikan gambaran sisi baik dan sisi buruk dan apa yang bisa diteladani dari kisah yang diangkatnya.  Walaupun sebetulnya masih banyak cerita yang mungkin lebih layak muat dalam buku/LKS tersebut. Dan dari sisi para siswa kisah seperti itu dikhawatirkan akan memasuki alam bawah sadar mereka yang pada akhirnya menjadi bekal hidup mereka yang keliru.
Terlepas dari bagaimana sebuah tulisan yang tak layak  cetak dan beredar menjadi permasalahan, rasanya kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemilihan bahan ajar atau buku kadang dilakukan dengan tidak cermat. Pertimbangan yang dilakukan adalah hanya memandang dari segi keuntungan yang bisa diperoleh dari segi bisnis saja. Maka tidak jarang buku yang sudah beredar kemudian harus ditarik kembali atau penggunaanya yang jarang dan hanya dipakai untuk sekedar pelengkap koleksi perpustakaan saja.
Dari sisi tenaga pendidikan buku adalah gudang ilmu, tapi dari sisi penerbit buku adalah sumber penghasil uang yang besar. Maka tidak heran jika kemudian ada istilah mafia perbukuan. Diakui atau tidak inilah yang terjadi selama ini pada dunia pendidikan kita. Bahkan sebuah jurnal ilmiah terpaksa harus  berhenti sesaat hanya karena upeti-upeti yang harus diberikan kepada pengelolanya sebelum penerbitan.
Semestinya dan  idealnya buku-buku pelajaran yang dipakai dalam kelas adalah buku karya guru itu sendiri, bukan karya orang lain. Betapa menariknya situasi kelas dengan bahan pembelajaran yang disusun oleh guru itu sendiri.
Pertanyaannya mengapa sampai saat ini masih banyak guru yang  belum bisa menyusun karya berupa buku atau bahan ajar yang layak dipakai dalam kelasnya sendiri? Ini adalah PR besar bagi para tenaga kependidikan kita.
Sekarang tinggal bagaimana menumbuhkan motivasi dari dalam diri guru untuk menulis menyusun buku ajar mereka sendiri karena menulis belum menjadi suatu budaya bagi para guru. Indikasinya adalah adanya penolakan ataupun pro kontra terhadap surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada 27 Januari lalu terkait kewajiban menulis karya ilmiah dalam jurnal ilmiah.
Kebiasaan menulis  dalam pengertian menulis tulisan ilmiah merupakan hal yang sangat sulit dilakukan bagi seorang yang  tidak memiliki motivasi menulis ataupun seorang pemula. Karena kebiasaan menulis ibarat menciptakan kebiasaan baru.
Kebiasaan menulis juga tidak lepas dari kebiasaan membaca, bagi mereka yang jarang membaca pasti akan mengalami banyak  kesulitan dalam pemilihan kosa kata yang akan dituangkan dalam tulisanya. Inilah yang juga menjadi kendala karena budaya mebaca kita masih sangat rendah dibanding negara lain.
Menumbuhkan motivasi menulis sangatlah penting karena tanpa keinginan yang kuat seseorang tidak akan menemukan tujuan untuk memulai menulis. Memposisikan menulis sebagai suatu ibadah  seperti halnya melakukan ibadah-ibadah yang lain dan menyadari bahwa menulis juga merupakan perjuangan. Perjuangan menginspirasi orang lain untuk juga menuangkan ide-idenya lewat tulisan-tulisanya.  
Bagi guru menulis dapat  membantu  kegiatan belajar mengajar selain bermanfaat sebagai pengembangan profesi sebagaimana diamanatkan dalam Permenegpan No. 16 tahun 2009.
Guru sebagai praktisi pendidik memiliki potensi menulis yang sangat besar. Banyak hal bisa dijadikan sebagai dasar penulisan, misalnya mengangkat permasalahan yang dialami dalam kelas. Banyak sekali bahan yang bisa dijadikan referensi penulisan, dari internet, surat kabar, dan juga dari buku-buku. Bisa kita bayangkan bila semua guru dapat menyusun buku pembelajarannya sendiri, menulis cerita dan celoteh  yang mengasikan,  alangkah indahnya pembelajaran yang dibawakanya dalam kelas. Tentu akan lebih memotivasi pribadi guru itu sendiri sekaligus pada siswa-siswanya.
Yang ironis adalah justru guru itu sendiri seringkali menjadi bahan perbincangan, pembahasan dan  menjadi obyek penulisan   karena guru sendiri kurang mampu menulis.
Inilah yang menjadi tugas kita bersama bagaimana membuat para guru lebih mampu menulis menyusun buku ajarnya sendiri yang sesuai dengan rencana pembelajaranya dalam kelas. Sehingga permasalahan kesalahan cetak (bahasa yang diperhalus saja) dan lainnya tidak terjadi.
Semua pasti setuju bila semua guru memiliki kompetensi menulis buku. Dari sanalah kemudian kita bisa menilai kapasitas seorang guru dalam pembelajaranya. Para penerbit buku  tidak perlu takut akan kehilangan pasarnya dan juga tidak perlu risih lagi dengan manjadi bagian dalam istilah mafia perbukuan. Mereka para penerbit harus bisa memafasilitasi  guru-guru untuk menulis, menuangkan ide gagasanya menjadi buku bahan ajar yang layak dipakai dalam kelas. Inilah saatnya para penerbit tidak hanya mengambil keuntungan dari buku-buku yang direkomendasikan para guru dan tenaga kependidikan kepada anak didiknya tetapi penerbit juga harus memfasilitasi dan memberdayakan para guru agar berkembang menjadi penulis-penulis yang baik yang bisa menuangkan dalam bentuk buku-buku bahan ajar untuk anak didiknya.
Keuntunganya adalah para guru menjadi lebih berdaya dengan proses berpikirnya menciptakan bahan ajar. Sisi lain penerbit tidak perlu kerepotan dalam mempromosikan buku-bukunya karena sejauh karya buku itu dipakai oleh guru itu sendiri otomatis penerbit memperoleh keuntungan dari penjualan yang terus menerus karena keterpakaian buku tersebut oleh guru itu sendiri.
Kenyataannya adalah penerbit memang telah memiliki penulis yang tidak menutup kemungkinan mereka bukan dari guru yang tahu betul seluk beluk rencana pembelajaran dalam kelas. Dan dampaknya adalah mereka, penerbit, harus mempromosikan keterpakaianya dalam sekolah-sekolah.
Permenegpan No. 16 Tahun 2009 mengisyaratkan bahwa syarat kenaikan pangkat dan penghargaan lain kepada guru mensyaratkan adanya karya-karya penulisan berupa artikel ilmiah, karya tulis ilmiah, dan juga penelitian tindakan kelas termasuk lebih jauh lagi diktat pembelajaran dan buku. Tentu dengan peraturan ini menulis ke depan bukan hanya untuk mendapatkan tunjangan-tunjangan tetapi menjadi sebuah kebutuhan dan memecahkan permasalahan seperti salah cetak dan lain-lain. Dengan demikian tujuan pemerintah meningkatkan mutu pendidikan  dengan mudah akan tercapai dengan adanya kesadaran dari masing-masing pelaku pendidikan terutama para guru. Dan tidak menutup kemungkinan juga para penerbit.
Perlu adanya kearifan bersama mengatasi permasalahan semacam ini. Orang tua bertanggung jawab membimbing anak-anak mereka dirumah karena sebagian besar waktu mereka adalah dalam keluarga dirumah. Guru dan kepala sekolah harus lebih jeli memilih bahan ajar mana yang layak dipakai dalam membimbing anak didiknya belajar. Pemilihan yang mendasarkan pada: (1) tingkat kesulitan bahan ajar dengan kapasitas intelektual siswa; (2) kesesuaian isi; (3) kesesuaian metodologi; dll.  Pemerintah terutama dinas pendidikan harus mengawal dengan  aturan yang mendorong  kreatifitas tenaga pendidiknya. Jangan sampai malah menjadi bagian dari istilah mafia perbukuan yang justru mematikan kreatifitas para tenaga pendidiknya.