BERLATIH TANPA KENAL MENYERAH ADALAH CIRI PRIBADI YANG SUKSES DIMASA DEPAN

23 April, 2013

SELAYAKNYA KEMENTRIAN PENGAJARAN BUKAN PENDIDIKAN

Penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ini adalah penyelenggaraan terburuk sepanjang sejarah. Betapa tidak, paket-paket soal yang mestinya terdistribusikan tepat waktu ternyata pada beberapa wilayah di bagian timur Indonesia mengalami keterlambatan. Bukan hanya ditingkat SMA saja tetapi keterlambatan juga terjadi ditingkat SMP seperti   yang terjadi di Belu NTT dan beberapa daerah lain. Masalah percetakan yang tidak bisa memenuhi target waktu menjadi alasan yang paling rasional yang dipilih oleh kementrian pendidikan sebagai alibi.

Hal semacam itu semestinya tidak perlu terjadi jika saja orang-orang  hebat yang  berada di kementrian pendidikan bisa memprediksikan kemungkinan terburuk dan menyiapkan solusinya. Ini sebagai bukti bahwa para profesor-profesor pemikir  disana tidak bisa bekerja dengan baik dan menjadi layak jika masyarakat meminta mereka mundur karena mereka dianggap gagal melayani para peserta didik dengan baik.




UPAYA PEMBOCORAN SISTEMATIS

Ketidakberesan UN tahun ini juga membuat masyarakat merasa curiga akan adanya kebocoran sebagaimana dilansir oleh beberapa media online di Bandung, Jawa Barat. Mereka menganggap bahwa kegagalan pencetakan yang tidak tepat waktu  sebagai  pengkondisian  dan upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dengan cara menjadi bandar-bandar pembocor soal.

Adanya 20 variasi paket soal adalah sebagai antisipasi dan menekan adanya kebocoran.  Mereka penyelenggara berasumsi bahwa dengan semakin banyaknya variasi paket soal maka akan semakin kecil kemungkinannya terjadi kebocoran. Namun faktanya lain, kekacauan pencetekan ditengarai sebagai upaya sistematis untuk mengelabuhi  terjadinya pembocoran paket soal UN. Adanya 20 variasi paket soal juga sebagai  indikator adanya kecemasan dari para penyelenggara akan ketidakjujuran pelaksanaan di lapangan. Dampaknya yang terjadi pada siswa adalah menularnya kecemasan dari para penyelenggara kepada mereka.

Semestinya mereka bisa mengurangi beban pikiran dengan pelaksanaan sesuai jadwal namun karena ketidakberesan penyelenggaraan mereka terpaksa harus mengerjakan pada kesempatan yang diundur.  Bisa jadi jika ada ketidak berhasilan pada siswa bukan berarti mereka bodoh tetapi karena tingkat kecemasan yang mempengaruhi penurunan daya pikir mereka disaat mengerjakan.



SELAYAKNYA KEMENTRIAN DIUBAH NAMANYA MENJADI KEMENTRIAN PENGAJARAN

UNAS sejatinya hanya mengukur tingkat keberhasilan proses belajar mengajar selama kurun waktu tertentu, bukan untuk mengukur tingkat keberhasilan proses pendidikan secara menyeluruh. Tetapi hal ini sudah menjadi pemahaman yang salah kaprah bahwa keberhasilan pendidikan kita bisa dilihat dari pencapaian ujian nasionalnya apalagi kita sering memperbandingkan tingkat pencapaian yang diperoleh oleh negara lain. Padahal pendidikan mencakup pembentukan karakter dan budi pekerti yang tidak bisa diukur dengan ukuran kepandaian atau kepintaran seseorang. Maka selayaknyalah nama Kementrian Pendidikan diganti dengan Kementrian Pengajaran.

Kementrian pendidikan  seharusnya tidak hanya membuat dan mengukur tingkat keberhasilan pendidikan dari pencapaian tes-tes semacam UN saja tetapi juga harus mengukur bagaimana perkembangan mental spiritual, karakter dan budi pekertinya, inilah yang tidak dilakukan. Yang dilakukan selama ini adalah bagaimana menaikan standar proses pencapaian hasil  belajar dari 4,5 menjadi 5,5 dan terus dinaikkan tiap tahun hingga mencapai angka ideal yang dianggap setara dengan Negara-negara lain. Ironisnya pencapaian standard itu ternyata tidak dibarengi dengan pencapaian perbaikan mental dan karakter bangsa.

Perlunya pendidikan karakter yang harus diintegrasikan dalam setiap kegiatan pembelajaran dikelas oleh para guru menandakan adanya krisis dan degradasi sikap moral dari bangsa ini. Yang demikian ini artinya bahwa pendidikan kita ternyata tidak menghasilkan generasi yang berkarakter yang lebih baik. Maka tidak heran jika sekarang ini banyak fenomena yang terjadi pada lembaga-lembaga terhormat dari tingkat daerah maupun pusat seperti DPRD, DPR, ditempati oleh orang-orang yang tidak memiliki integritas moral yang baik. Mereka justru menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk melakukan tindakan koruptif. Dan menjadi pemandangan yang lumrah dimana orang-orang kecil pun melakukan hal yang sama, seperti sekedar melanggar marka jalan, memakai trotoar untuk berjualan. Mereka menjadi abai dan frustasi melihat para pemimpin mereka yang seenaknya sendiri dan jauh dari apa yang mereka harapkan.

Dengan carut marutnya penyelenggaraan Ujian nasional ini semestinya pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan berinstropeksi karena selama ini  lembaga kementrian pendidikan dilanda krisis dengan  sering memberlakukan kebijakan yang kurang populer. Pergantian kebijakan dan arah kurikulum setiap kali berganti menteri. Masih belum hilang dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu telah dihapus program rintisan sekolah bertaraf internasional yang justru bertentangan dengan undang-undang dasar 45. Belum lagi rencana penerapan kurikulum 2013 yang pelaksanaanya belum jelas mengingat tidak semua tenaga pendidik memahami rencana itu.  Hal-hal demikianlah yang justru semaikin menjauhkan kita  dari filosofi pendidikan itu sendiri yaitu merubah manusia menjadi lebih baik bukan hanya dalam hal kecerdasan, kepandaian tetapi juga sikap mental, karakter dan budi pekertinya.