
Hal semacam itu semestinya tidak
perlu terjadi jika saja orang-orang
hebat yang berada di kementrian
pendidikan bisa memprediksikan kemungkinan terburuk dan menyiapkan solusinya.
Ini sebagai bukti bahwa para profesor-profesor pemikir disana tidak bisa bekerja dengan baik dan
menjadi layak jika masyarakat meminta mereka mundur karena mereka dianggap
gagal melayani para peserta didik dengan baik.
UPAYA
PEMBOCORAN SISTEMATIS
Ketidakberesan UN tahun ini juga membuat
masyarakat merasa curiga akan adanya kebocoran sebagaimana dilansir oleh
beberapa media online di Bandung, Jawa Barat. Mereka menganggap bahwa kegagalan
pencetakan yang tidak tepat waktu sebagai pengkondisian
dan upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil
keuntungan dengan cara menjadi bandar-bandar pembocor soal.
Adanya 20 variasi paket soal adalah
sebagai antisipasi dan menekan adanya kebocoran. Mereka penyelenggara berasumsi bahwa dengan
semakin banyaknya variasi paket soal maka akan semakin kecil kemungkinannya
terjadi kebocoran. Namun faktanya lain, kekacauan pencetekan ditengarai sebagai
upaya sistematis untuk mengelabuhi terjadinya pembocoran paket soal UN. Adanya 20
variasi paket soal juga sebagai indikator
adanya kecemasan dari para penyelenggara akan ketidakjujuran pelaksanaan di
lapangan. Dampaknya yang terjadi pada siswa adalah menularnya kecemasan dari
para penyelenggara kepada mereka.
Semestinya mereka bisa mengurangi
beban pikiran dengan pelaksanaan sesuai jadwal namun karena ketidakberesan
penyelenggaraan mereka terpaksa harus mengerjakan pada kesempatan yang
diundur. Bisa jadi jika ada ketidak
berhasilan pada siswa bukan berarti mereka bodoh tetapi karena tingkat
kecemasan yang mempengaruhi penurunan daya pikir mereka disaat mengerjakan.
SELAYAKNYA
KEMENTRIAN DIUBAH NAMANYA MENJADI KEMENTRIAN PENGAJARAN
UNAS sejatinya hanya mengukur
tingkat keberhasilan proses belajar mengajar selama kurun waktu tertentu, bukan
untuk mengukur tingkat keberhasilan proses pendidikan secara menyeluruh. Tetapi
hal ini sudah menjadi pemahaman yang salah kaprah bahwa keberhasilan pendidikan
kita bisa dilihat dari pencapaian ujian nasionalnya apalagi kita sering
memperbandingkan tingkat pencapaian yang diperoleh oleh negara lain. Padahal
pendidikan mencakup pembentukan karakter dan budi pekerti yang tidak bisa
diukur dengan ukuran kepandaian atau kepintaran seseorang. Maka selayaknyalah
nama Kementrian Pendidikan diganti dengan Kementrian Pengajaran.
Kementrian pendidikan seharusnya tidak hanya membuat dan mengukur
tingkat keberhasilan pendidikan dari pencapaian tes-tes semacam UN saja tetapi
juga harus mengukur bagaimana perkembangan mental spiritual, karakter dan budi
pekertinya, inilah yang tidak dilakukan. Yang dilakukan selama ini adalah
bagaimana menaikan standar proses pencapaian hasil belajar dari 4,5 menjadi 5,5 dan terus
dinaikkan tiap tahun hingga mencapai angka ideal yang dianggap setara dengan
Negara-negara lain. Ironisnya pencapaian standard itu ternyata tidak dibarengi
dengan pencapaian perbaikan mental dan karakter bangsa.
Perlunya pendidikan karakter yang
harus diintegrasikan dalam setiap kegiatan pembelajaran dikelas oleh para guru
menandakan adanya krisis dan degradasi sikap moral dari bangsa ini. Yang
demikian ini artinya bahwa pendidikan kita ternyata tidak menghasilkan generasi
yang berkarakter yang lebih baik. Maka tidak heran jika sekarang ini banyak
fenomena yang terjadi pada lembaga-lembaga terhormat dari tingkat daerah maupun
pusat seperti DPRD, DPR, ditempati oleh orang-orang yang tidak memiliki
integritas moral yang baik. Mereka justru menggunakan kekuasaan dan
kewenangannya untuk melakukan tindakan koruptif. Dan menjadi pemandangan yang
lumrah dimana orang-orang kecil pun melakukan hal yang sama, seperti sekedar
melanggar marka jalan, memakai trotoar untuk berjualan. Mereka menjadi abai dan
frustasi melihat para pemimpin mereka yang seenaknya sendiri dan jauh dari apa
yang mereka harapkan.
Dengan carut marutnya penyelenggaraan
Ujian nasional ini semestinya pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan
berinstropeksi karena selama ini lembaga
kementrian pendidikan dilanda krisis dengan sering memberlakukan kebijakan yang kurang
populer. Pergantian kebijakan dan arah kurikulum setiap kali berganti menteri. Masih
belum hilang dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu telah dihapus program
rintisan sekolah bertaraf internasional yang justru bertentangan dengan
undang-undang dasar 45. Belum lagi rencana penerapan kurikulum 2013 yang
pelaksanaanya belum jelas mengingat tidak semua tenaga pendidik memahami
rencana itu. Hal-hal demikianlah yang
justru semaikin menjauhkan kita dari
filosofi pendidikan itu sendiri yaitu merubah manusia menjadi lebih baik bukan
hanya dalam hal kecerdasan, kepandaian tetapi juga sikap mental, karakter dan
budi pekertinya.