
Fenomena kisah "Bang Maman dari Kali Pasir"
dalam Buku LKS Pendidikan Lingkungan
Budaya Jakarta terbitan CV. Media Kreasi
layak untuk kita kritisi. Hal semacam ini tentu tidak akan terjadi bila kita
mengantisipasi titik lemah dimana potensi kekeliruan tersebut mengemuka. Kita tidak
bisa menyalahkan mengapa kemudian penulis buku tersebut mengangkat kisah
seperti itu, karena apa yang memasuki alam bawah sadar penulis adalah mungkin
itulah yang banyak terjadi dalam kehidupan
nyata akhir-akhir ini. Tetapi hal ini menjadi masalah manakala cerita seperti
itu masuk dalam ruang publik siswa yang semestinya dijejali dengan hal-hal yang
bersifat positif. Disatu sisi penulis mungkin bermaksud untuk memberikan
gambaran sisi baik dan sisi buruk dan apa yang bisa diteladani dari kisah yang
diangkatnya. Walaupun sebetulnya masih
banyak cerita yang mungkin lebih layak muat dalam buku/LKS tersebut. Dan dari
sisi para siswa kisah seperti itu dikhawatirkan akan memasuki alam bawah sadar mereka
yang pada akhirnya menjadi bekal hidup mereka yang keliru.
Terlepas dari bagaimana sebuah tulisan yang tak
layak cetak dan beredar menjadi
permasalahan, rasanya kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemilihan bahan
ajar atau buku kadang dilakukan dengan tidak cermat. Pertimbangan yang
dilakukan adalah hanya memandang dari segi keuntungan yang bisa diperoleh dari
segi bisnis saja. Maka tidak jarang buku yang sudah beredar kemudian harus
ditarik kembali atau penggunaanya yang jarang dan hanya dipakai untuk sekedar
pelengkap koleksi perpustakaan saja.
Dari sisi tenaga pendidikan buku adalah gudang ilmu,
tapi dari sisi penerbit buku adalah sumber penghasil uang yang besar. Maka
tidak heran jika kemudian ada istilah mafia perbukuan. Diakui atau tidak inilah
yang terjadi selama ini pada dunia pendidikan kita. Bahkan sebuah jurnal ilmiah
terpaksa harus berhenti sesaat hanya
karena upeti-upeti yang harus diberikan kepada pengelolanya sebelum penerbitan.
Semestinya dan idealnya buku-buku pelajaran yang dipakai
dalam kelas adalah buku karya guru itu sendiri, bukan karya orang lain. Betapa
menariknya situasi kelas dengan bahan pembelajaran yang disusun oleh guru itu
sendiri.
Pertanyaannya mengapa sampai saat ini masih banyak
guru yang belum bisa menyusun karya
berupa buku atau bahan ajar yang layak dipakai dalam kelasnya sendiri? Ini
adalah PR besar bagi para tenaga kependidikan kita.
Sekarang tinggal bagaimana menumbuhkan motivasi dari
dalam diri guru untuk menulis menyusun buku ajar mereka sendiri karena menulis
belum menjadi suatu budaya bagi para guru. Indikasinya adalah adanya penolakan
ataupun pro kontra terhadap surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
pada 27 Januari lalu terkait kewajiban menulis karya ilmiah dalam jurnal
ilmiah.
Kebiasaan menulis
dalam pengertian menulis tulisan ilmiah merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan bagi seorang yang tidak
memiliki motivasi menulis ataupun seorang pemula. Karena kebiasaan menulis
ibarat menciptakan kebiasaan baru.
Kebiasaan menulis juga tidak lepas dari kebiasaan
membaca, bagi mereka yang jarang membaca pasti akan mengalami banyak kesulitan dalam pemilihan kosa kata yang akan
dituangkan dalam tulisanya. Inilah yang juga menjadi kendala karena budaya
mebaca kita masih sangat rendah dibanding negara lain.
Menumbuhkan motivasi menulis sangatlah penting
karena tanpa keinginan yang kuat seseorang tidak akan menemukan tujuan untuk
memulai menulis. Memposisikan menulis sebagai suatu ibadah seperti halnya melakukan ibadah-ibadah yang
lain dan menyadari bahwa menulis juga merupakan perjuangan. Perjuangan
menginspirasi orang lain untuk juga menuangkan ide-idenya lewat
tulisan-tulisanya.
Bagi guru menulis dapat membantu
kegiatan belajar mengajar selain bermanfaat sebagai pengembangan profesi
sebagaimana diamanatkan dalam Permenegpan No. 16 tahun 2009.
Guru sebagai praktisi pendidik memiliki potensi
menulis yang sangat besar. Banyak hal bisa dijadikan sebagai dasar penulisan,
misalnya mengangkat permasalahan yang dialami dalam kelas. Banyak sekali bahan
yang bisa dijadikan referensi penulisan, dari internet, surat kabar, dan juga
dari buku-buku. Bisa kita bayangkan bila semua guru dapat menyusun buku
pembelajarannya sendiri, menulis cerita dan celoteh yang mengasikan, alangkah indahnya pembelajaran yang
dibawakanya dalam kelas. Tentu akan lebih memotivasi pribadi guru itu sendiri sekaligus
pada siswa-siswanya.
Yang ironis adalah justru guru itu sendiri seringkali
menjadi bahan perbincangan, pembahasan dan
menjadi obyek penulisan karena
guru sendiri kurang mampu menulis.
Inilah yang menjadi tugas kita bersama bagaimana
membuat para guru lebih mampu menulis menyusun buku ajarnya sendiri yang sesuai
dengan rencana pembelajaranya dalam kelas. Sehingga permasalahan kesalahan
cetak (bahasa yang diperhalus saja) dan lainnya tidak terjadi.
Semua pasti setuju bila semua guru memiliki
kompetensi menulis buku. Dari sanalah kemudian kita bisa menilai kapasitas
seorang guru dalam pembelajaranya. Para penerbit buku tidak perlu takut akan kehilangan pasarnya dan
juga tidak perlu risih lagi dengan manjadi bagian dalam istilah mafia
perbukuan. Mereka para penerbit harus bisa memafasilitasi guru-guru untuk menulis, menuangkan ide
gagasanya menjadi buku bahan ajar yang layak dipakai dalam kelas. Inilah saatnya
para penerbit tidak hanya mengambil keuntungan dari buku-buku yang
direkomendasikan para guru dan tenaga kependidikan kepada anak didiknya tetapi
penerbit juga harus memfasilitasi dan memberdayakan para guru agar berkembang
menjadi penulis-penulis yang baik yang bisa menuangkan dalam bentuk buku-buku
bahan ajar untuk anak didiknya.
Keuntunganya adalah para guru menjadi lebih berdaya
dengan proses berpikirnya menciptakan bahan ajar. Sisi lain penerbit tidak
perlu kerepotan dalam mempromosikan buku-bukunya karena sejauh karya buku itu
dipakai oleh guru itu sendiri otomatis penerbit memperoleh keuntungan dari
penjualan yang terus menerus karena keterpakaian buku tersebut oleh guru itu
sendiri.
Kenyataannya adalah penerbit memang telah memiliki
penulis yang tidak menutup kemungkinan mereka bukan dari guru yang tahu betul
seluk beluk rencana pembelajaran dalam kelas. Dan dampaknya adalah mereka, penerbit,
harus mempromosikan keterpakaianya dalam sekolah-sekolah.
Permenegpan No. 16 Tahun 2009 mengisyaratkan bahwa
syarat kenaikan pangkat dan penghargaan lain kepada guru mensyaratkan adanya
karya-karya penulisan berupa artikel ilmiah, karya tulis ilmiah, dan juga
penelitian tindakan kelas termasuk lebih jauh lagi diktat pembelajaran dan
buku. Tentu dengan peraturan ini menulis ke depan bukan hanya untuk mendapatkan
tunjangan-tunjangan tetapi menjadi sebuah kebutuhan dan memecahkan permasalahan
seperti salah cetak dan lain-lain. Dengan demikian tujuan pemerintah meningkatkan
mutu pendidikan dengan mudah akan
tercapai dengan adanya kesadaran dari masing-masing pelaku pendidikan terutama
para guru. Dan tidak menutup kemungkinan juga para penerbit.
Perlu adanya kearifan bersama mengatasi permasalahan semacam
ini. Orang tua bertanggung jawab membimbing anak-anak mereka dirumah karena
sebagian besar waktu mereka adalah dalam keluarga dirumah. Guru dan kepala
sekolah harus lebih jeli memilih bahan ajar mana yang layak dipakai dalam
membimbing anak didiknya belajar. Pemilihan yang mendasarkan pada: (1) tingkat
kesulitan bahan ajar dengan kapasitas intelektual siswa; (2) kesesuaian isi;
(3) kesesuaian metodologi; dll. Pemerintah
terutama dinas pendidikan harus mengawal dengan
aturan yang mendorong kreatifitas
tenaga pendidiknya. Jangan sampai malah menjadi bagian dari istilah mafia
perbukuan yang justru mematikan kreatifitas para tenaga pendidiknya.