LUNTURNYA
KARAKTER BANGSA
orang di lapas Cebongan baru-baru ini sangat mengagetkan kita. Penegakan hukum sepertinya menjadi jalan yang terlalu berbelit untuk bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara kita. Orang tidak lagi memiliki rasa kesabaran untuk menempuh dengan jalan itu, emosi yang berlebihan cenderung mendorong seseorang untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan jalan pintas tak peduli akan hak-hak asasi manusia yang selama ini begitu lantang didengungkan.
Perilaku yang dipertontonkan seorang jenderal dengan hartanya
yang diluar batas kewajaran menunjukan bahwa seorang pemimpin yang semestinya
memiliki cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi lebih memilih diri sendiri dan keluarganya. Ini menggejala
mulai dari mereka yang hanya memimpin 5 sampai 6 orang pada lembaga-lembaga
yang notabene mengajarkan dan mengedepankan pendidikan karakter itu sendiri, sepertinya
mereka kehilangan kepedulian sosial terhadap sesama ditengah jutaan masyarakatnya
yang masih dibawah garis kemiskinan.
Wajar bila masyarakat kita yang selama ini dikenal santun
berbudi pekerti luhur sesuai dengan 18
nilai pendidikan karakter menjadi tidak sabar dan ingin mendobrak melihat
ketidak adilan yang menimpanya. Mereka menjadi semaunya sendiri dan tidak
peduli dengan budaya karakter yang baik yang selama ini menjadi jalan kehidupannya.
Apa yang masyarakat pertahankan selama ini justru sangat menyiksa dan menambah
penderitaan hidup. Mereka memberontak atas kenyataan dan mengikuti pola-pola
yang dilakukan oleh para pemimpin kita.
Kemudian apa yang bisa kita lihat dan kita rasakan pada dunia pendidikan kita? Rasa kepedulian
pada sesama pada diri anak didik kita pun sepertinya sudah mulai luntur. Wajar
saja karena anak-anak kita sering
dipertontonkan dengan tindakan seperti yang dicontohkan oleh segerombolan
penembak tahanan di Cebongan tadi. Anak-anak kita semakin sensitive dengan
hal-hal sepele. Tak ayal lagi mereka kadang mengambil jalan pintas dengan
menghakimi dengan mengerahkan teman-temannya dan melakukan tawuran. Walaupun dilakukan pada jam-jam sehabis
sekolah namun tetap saja mereka adalah anak-anak sekolah yang semestinya tidak
melakukan hal-hal yang demikian.
Bangsa ini sepertinya sedang diuji
dengan krisis moral. Itulah kondisi kebatinan
yang diarasa terhadap apa yang sedang terjadi pada jiwa dan mental
bangsa ini yang kemudian menimbulkan pemikiran untuk menanamkan pendidikan
karakter pada setiap jenjang pendidikan kita. Harapannya adalah untuk membentuk
bangsa yang tangguh,kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik,berkembang dinamis, berorientasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada
Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Ada 18 nilai karakter yang teridentifikasi yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya,
dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi,
(4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)Demokratis, (9)
Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12)Menghargai
Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar
Membaca,(16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab.
Sejatinya mestinya para pemimpin-pemimpin negeri ini yang
harus bersekolah dan belajar lagi 18 nilai karakter tadi, bukan anak-anak kita,
yang justru mereka belajar dengan mencontoh dari apa yang dilakukan
pemimpinnya.
Pada
masa-masa yang lalu dalam struktur kurikulum pendidikan masih ada pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Pada masa-masa itu banyak yang masih bisa merasakan betapa suasana kebatinan
yang tenteram dan lebih nyaman. Ini membuktikan bahwa pendidikan moral seperti
PMP, P4, sangat mempengaruhi pola
kehidupan kita. Betapa kita sadar bahwa pada saat kita melakukan upacara bendera
kita sedang menghargai jasa-jasa para pahlawan kita. Kita menjadi tahu mengapa
kita harus melakukanya bisa dipahami dari PSPB.
Disadari atau tidak bahwa pelaksanaan pendidikan moral
Pancasil, P4 dan sejenisnya sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan pada
waktu itu. Banyak diantara kita yang ingin kembali lagi merasakan suasana kebatinan
pada masa itu dan menjadi barang mustahil pada masa reformasi seperti ini.
Sekarang eranya lain. Bagaimana kita akan menghargai jasa para
pahlawan kita sedang menghargai orang-orang terdekat kita kadang susah kita
lakukan dan luntur. Maka tidak jarang banyak terjadi tindak kekerasan yang
justru dilakukan oleh orang-orang terdekat dan keluarga. Seperti anak membunuh
bapaknya, istri membunuh suaminya, atau tetangga membnuh anak tetangganya
sendiri. Ada keengganan untuk kembali lagi kemasa lalu karena egoisme walaupun
yang dirasakan adalah hal yeng bersifat lebih baik.
Perlu kerja keras dan kesadaran kita semua dalam rangka mencapai hasil yang
maksimal dari pendidikan karakter. Orang tua harus menjadi ujung tombak karena
penanaman karakter ini harus dimulai dari dalam rumah, lingkungan baru sekolah.
Jangan samapai ada malpraktik-malpraktik yang sulit diatasi oleh para pendidik
karena hal-hal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungannya dalam penanaman
karakter.
Media juga harus mengambil peran yang justru tidak semakin memperburuk
keadaan. Jangan sampai para pemilik media seolah mengambil kesempatan
dengan situasi seperti ini. Fenomena yang berkembang ini justru diambil sebagai
momentum untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan mewartakan dan
mempertontonkan akasi-akasi radikalisme
ke mata masyarakat terutama anak-anak sekolah, pelajar dan mahasiswa karena ini
justru menjadi kontraproduktif pada perkembangan bangsa ini yang ingin maju.