BERLATIH TANPA KENAL MENYERAH ADALAH CIRI PRIBADI YANG SUKSES DIMASA DEPAN

01 April, 2013

LUNTURNYA KARAKTER BANGSA


LUNTURNYA KARAKTER BANGSA
    
Publik sepertinya akan selalu dikejutkan dengan fenomena-fenomena baru dinegeri ini. Belum lagi hilang dalam pikiran kita bagaimana seorang jendral dengan begitu banyak hartanya melebihi batas angan-angan pada umumnya. Kita sudah disodori dengan tontonan yang dramatis. Penembakan empat tahanan oleh segerombolan
orang di lapas Cebongan baru-baru ini sangat mengagetkan kita. Penegakan hukum sepertinya menjadi jalan yang terlalu berbelit  untuk bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara kita. Orang tidak lagi memiliki rasa kesabaran  untuk menempuh dengan jalan itu, emosi yang berlebihan cenderung mendorong seseorang  untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan jalan pintas tak peduli akan hak-hak asasi manusia yang selama ini begitu lantang didengungkan. 
Perilaku yang dipertontonkan seorang jenderal dengan hartanya yang diluar batas kewajaran menunjukan bahwa seorang pemimpin yang semestinya memiliki cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi lebih  memilih diri sendiri dan keluarganya. Ini menggejala mulai dari mereka yang hanya memimpin 5 sampai 6 orang pada lembaga-lembaga yang notabene mengajarkan dan mengedepankan  pendidikan karakter itu sendiri, sepertinya mereka kehilangan kepedulian sosial terhadap sesama ditengah jutaan masyarakatnya yang masih dibawah garis kemiskinan.
Wajar bila masyarakat kita yang selama ini dikenal santun berbudi pekerti luhur  sesuai dengan 18 nilai pendidikan karakter menjadi tidak sabar dan ingin mendobrak melihat ketidak adilan yang menimpanya. Mereka menjadi semaunya sendiri dan tidak peduli dengan budaya karakter yang baik  yang selama ini menjadi jalan kehidupannya. Apa yang masyarakat pertahankan selama ini justru sangat menyiksa dan menambah penderitaan hidup. Mereka memberontak atas kenyataan dan mengikuti pola-pola yang dilakukan oleh para pemimpin kita.
Kemudian apa yang bisa kita lihat dan kita rasakan  pada dunia pendidikan kita? Rasa kepedulian pada sesama pada diri anak didik kita pun sepertinya sudah mulai luntur. Wajar saja karena  anak-anak kita sering dipertontonkan dengan tindakan seperti yang dicontohkan oleh segerombolan penembak tahanan di Cebongan tadi. Anak-anak kita semakin sensitive dengan hal-hal sepele. Tak ayal lagi mereka kadang mengambil jalan pintas dengan menghakimi dengan mengerahkan teman-temannya dan melakukan tawuran.  Walaupun dilakukan pada jam-jam sehabis sekolah namun tetap saja mereka adalah anak-anak sekolah yang semestinya tidak melakukan hal-hal yang demikian.
Bangsa ini sepertinya sedang diuji dengan krisis moral. Itulah kondisi kebatinan  yang diarasa terhadap apa yang sedang terjadi pada jiwa dan mental bangsa ini yang kemudian menimbulkan pemikiran untuk menanamkan pendidikan karakter pada setiap jenjang pendidikan kita. Harapannya adalah untuk membentuk bangsa yang tangguh,kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Ada  18 nilai karakter yang teridentifikasi  yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12)Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca,(16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab.
Sejatinya mestinya para pemimpin-pemimpin negeri ini yang harus bersekolah dan belajar lagi 18 nilai karakter tadi, bukan anak-anak kita, yang justru mereka belajar dengan mencontoh dari apa yang dilakukan pemimpinnya.
Pada masa-masa yang lalu dalam struktur kurikulum pendidikan masih ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Pada masa-masa itu banyak yang masih bisa merasakan betapa suasana kebatinan yang tenteram dan lebih nyaman. Ini membuktikan bahwa pendidikan moral seperti PMP, P4,  sangat mempengaruhi pola kehidupan kita. Betapa kita sadar bahwa pada saat kita melakukan upacara bendera kita sedang menghargai jasa-jasa para pahlawan kita. Kita menjadi tahu mengapa kita harus melakukanya bisa dipahami dari PSPB.
Disadari atau tidak bahwa pelaksanaan pendidikan moral Pancasil, P4 dan sejenisnya sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan pada waktu itu. Banyak diantara kita yang ingin kembali lagi merasakan suasana kebatinan pada masa itu dan menjadi barang mustahil pada masa reformasi seperti ini.
 Sekarang eranya lain.  Bagaimana kita akan menghargai jasa para pahlawan kita sedang menghargai orang-orang terdekat kita kadang susah kita lakukan dan luntur. Maka tidak jarang banyak terjadi tindak kekerasan yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat dan keluarga. Seperti anak membunuh bapaknya, istri membunuh suaminya, atau tetangga membnuh anak tetangganya sendiri. Ada keengganan untuk kembali lagi kemasa lalu karena egoisme walaupun yang dirasakan adalah hal yeng bersifat lebih baik.
Perlu kerja keras dan kesadaran  kita semua dalam rangka mencapai hasil yang maksimal dari pendidikan karakter. Orang tua harus menjadi ujung tombak karena penanaman karakter ini harus dimulai dari dalam rumah, lingkungan baru sekolah. Jangan samapai ada malpraktik-malpraktik yang sulit diatasi oleh para pendidik karena hal-hal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungannya dalam penanaman karakter.
Media juga harus mengambil peran yang justru tidak semakin memperburuk keadaan. Jangan sampai  para  pemilik media seolah mengambil kesempatan dengan situasi seperti ini. Fenomena yang berkembang ini justru diambil sebagai momentum untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan mewartakan dan mempertontonkan akasi-akasi  radikalisme ke mata masyarakat terutama anak-anak sekolah, pelajar dan mahasiswa karena ini justru menjadi kontraproduktif pada perkembangan bangsa ini yang ingin maju.